Namaku Rama Putra Kartanegara, aku adalah direktur utama perusahaan  dagang intercorp internasional yang setiap tahun memperoleh pendapatan  sebesar 11 milyar rupiah, dengan sekitar 5000 karyawan diseluruh dunia.  tapi semua ini bukanlah kekayaan yang nyata, ini semua adalah semu.  semua ini kudapat dengan seluruh keringat yang jatuh dari tubuh yang tak  pernah henti-hentinya berusaha dan hati yang tak pernah henti-hentinya  berdoa.
semua bisa kudapat karena seorang yang luar biasa, yang  selalu mendukungku dari belakang dan setiap saat menuntunku menuju hari  masa depan yang samar. Tapi sekarang dia sedang sekarat, bergulat dengan  ranjang bertuliskan "Ivan Putra Kartanegara" dan bertarung melawan  malaikat maut di antara kehidupan dan kematian. Dialah kakakku yang  terbujur kaku dan terdiam bisu ditempat tidur National Cancer Center  Hospital di Jepang salah satu rumah sakit terbaik dalam hal penyakit  kanker. Benar, kakakku menderita penyakit kanker paru-paru stadium  akhir, yang sudah tidak punya kesempatan untuk melihat dunia lebih lama  lagi. Dokter memperkirakan hidupnya tak lebih lama dari 1 bulan. Aku tak  bisa berbuat apa-apa dengan segala hal yang kupunya ini, kekayaan,  kekuasaan dan segala yang aku miliki tak bisa membuat kakak bisa sembuh  dan selamat, ataupun membuatnya hidup lebih lama untuk merasakan hasil  jerih payah yang selama ini kita gapai bersama. Apa yang saat ini bisa  aku lakukan hanyalah tersenyum, karena itu yang kakak minta padaku,  padahal hati ini terus menangis tanpa henti. Kakak selalu bilang "dik,  tersenyumlah walau hatimu sakit, karena dengan tersenyum segala air mata  di hatimu akan menjadi air yang paling sejuk ketika kau berada di  surga", itulah yang membuat aku menjadi pribadi yang selalu tersenyum  walaupun hidup yang kami jalani berat, itu karena kakak.
Pernah  setiap malam kakak bercerita tentang masa lalu ketika kami berdua masih  kecil. Aku sering menangis ketika mendengar suara lolongan anjing  disaat malam, di desaku lolongan anjing berarti pertanda bahwa ada roh  yang bergentayangan sedang mencari tumbal, aku selalu memeluk badan  kakak yang kurus kerontang dengan nafasnya yang berat serta genggaman  tangannya yang besar memeluk seluruh badanku yang kecil. Ya, tak ada  yang dapat kupeluk selain tubuh kakak yang hangat karena ketika aku  berumur 1 tahun ayah dan ibu telah menghadap yang kuasa. Ayah dan ibu  meninggal karena bencana banjir yang melanda desa batu sari sekitar 25  tahun yang lalu, ketika itu kakak baru berumur 6 tahun, anak yang sudah  harus menanggung cobaan yang berat di pundaknya yang kecil.
Kakak  selalu bilang bahwa longlongan anjing itu karena induk anjing sedang  memanggil anaknya karena hari sudah malam. Lalu dia melanjutkannya "dik  kalau sudah malam jangan pergi jauh-jauh nanti dicari sama ibu anjing,  memang dibawa sama ibu anjing??". ketika itu aku percaya apa yang  dikatakan kakak dan selalu pulang tepat waktu sehabis main bersama  temanku. Tapi aku tahu itu hanya cara kakak agar aku tidak terlalu larut  pulang kerumahku yang seperti kandang domba dan hampir roboh yang  disampingnya terdapat makam ayah dan ibu, serta di belakangnya ada sawah  yang digarap kakak dibantu oleh paman bayu.
Malam itu  ketika kakak bercerita tentang masa lalu, aku seperti menaiki mesin  waktu yang membawaku ke masa dimana semua ini berawal, dimana semua  perjuangan orang yang paling kuhormati dan paling luar biasa dalam  hidupku dimulai bersama dengan langit malam yang mengusir awan hitam  hingga cahaya rembulan dan bintang menerangi wajahnya yang damai.
Malam  dimana kakak bercerita tentang masa lalu yang penuh bunga-bunga  kenangan kebahagiaan dan tak terhitung duri-duri kesedihan yang pernah  terjadi selama perjalanan hidup kami. Malam itu kakak seperti manusia  yang mendapatkan semangat baru dalam hidupnya padahal hidupnya sudah  tidak lama lagi, mungkin Tuhan memberikan kekuatan bagi kakak untuk  mencicipi kebahagiaan di saat akhir yang tak pernah ia dapatkan  disepanjang hidupnya. Walaupun kakak tak pernah tahu apa penyakit yang  menimpa dirinya. Benar, selama ini aku merahasiakan tentang ini semua,  pernah ketika itu kakak menanyakan kepadaku tentang penyakitnya dan aku  hanya tersenyum dan menjawab "kakak hanya terserang demam berdarah, jadi  kakak harus dirawat disini untuk beberapa waktu", kakak tidak pernah  tahu bahwa tempat dimana dia dirawat adalah rumah sakit khusus untuk  menangani penyakit kanker, karena kakak tidak bisa membaca bahkan dia  tidak pernah mengenyam pendidikan sekalipun. kami semua merahasiakannya  karena aku tidak ingin kakak menjadi terpukul tentang keadaannya, aku  tidak ingin melihat kakak bersedih lagi, aku tidak ingin melihat kakak  menjadi seorang yang kehilangan semangat hidup karena dia tahu kapan dia  akan menghembuskan nafas terakhirnya. Aku tidak mau di sisa hidupnya  dia meratapi kematian tanpa merasakan kebahagiaan yang telah ada didepan  mata, aku ingin dia merasakan secuil kegembiraan yang tak pernah dia  dapatkan seumur hidupnya.
Suara kakak yang lembut  menyadarkan aku dari pelamunanku yang cukup lama, cerita kakak semakin  besemangat ketika meracau tentang  hari pertama aku bersekolah di  sekolah dasar negeri Batu Ampar. Aku duduk dibangku kelas satu yang  terdiri dari sekitar empat puluh murid. Hari itu kakak mengantarkan aku  menggunakan sepeda kumbang sepeninggal ayah dahulu, dengan rantai yang  kering menimbulkan suara yang memecah sunyi pagi. Kakak bersemangat  sekali mengayuh sepedanya, entah sudah berapa jauh dia mengayuh tanpa  memperlambat kecepatannya. Jarak antara rumahku ke sekolah bisa dibilang  sangat jauh karena harus melewati dua desa untuk mencapainya, karena di  desa kami tidak ada sekolah dan tempat pendidikan lainnya.
Kakak  selalu bilang bahwa sekolah itu adalah awal bagi cita-cita yang tak  bisa digapai hanya dengan sebuah mimpi tapi dengan kemauan yang keras  dan usaha yang gigih. aku tak pernah tahu bahwa kakak menyimpan  keinginan untuk bersekolah juga, kutahu itu semua ketika kakak sedang  bercakap dengan paman bayu ketika sedang beristirahat selesai menggarap  sawah. "van, mengapa kau tidak bersekolah bersama adikmu itu? masa  depanmu itu masih panjang, janganlah kau menjadi seperti pamanmu ini  yang hanya kuli penggarap sawah" kata paman bayu, lalu kakak menjawab  dengan sedikit senyum "paman, kalau aku tidak bekerja menggarap sawah,  menjadi kuli panggul dipasar, dan bekerja untuk koh a kiong maka tak ada  salah satu dari saya maupun Rama yang bisa merasakan nikmatnya udara  sekolah, biarlah rama yang merasakan itu semua daripada diantara kami  tak ada yang dapat menghirupnya?" paman bayu menyambung "tapi bagaimana  dengan dirimu apakah kau tidak ingin merasakan sekolah juga?", kakak  lalu menjawab dengan mengangkat wajahnya memandang langit "cita-cita  saya sejak dulu adalah merasakan bangku sekolah, tapi sekarang cita-cita  saya adalah menyekolahkan Rama sampai ia masuk universitas biarpun saya  harus seperti ini, saya tidak ingin melihat Rama jatuh ke jurang dalam  kebodohan dan tak bisa kembali untuk melanjutkan sisa hidupnya. biarlah  saya yang menjadi batu pijakan baginya hingga ia bisa melompat ketempat  yang tak pernah bisa saya gapai".
Saat mendengar itu semua  mulutku terkunci tak bisa berucap, tanganku gemetar, dan tubuhku  terbujur kaku tak bisa bergerak. aku hanya bisa berkata didalam hati  "aku akan membuat kakak bangga dan membuat kakak selalu tersenyum  sepanjang hidupnya".
kenangan itu yang menjadikan diriku seorang  yang tak pernah putus asa untuk mendapatkan yang terbaik bagi kakakku,  hingga aku menjadi seperti ini.
Ini semua karenamu sang  mentari yang memberi sinar kehidupan, sang bintang yang memberi cahaya  penuh kedamaian sepanjang masa. malam semakin larut tapi kakak belum  juga menutup matanya dia semakin bersemangat lagi ketika bercerita  tentang masa lalu kami yang setiap harinya dia ingat sebagai kehidupan  yang penuh derita, penuh kesedihan, dan penuh perjuangan. Tapi semua itu  tak menyurutkan semangatnya untuk berbuat yang terbaik yang bisa beliau  berikan, "hiduplah dengan rasa syukur, karena tanpa rasa syukur takkan  ada kekurangan yang tak dapat kita terima dan itu hanya menjadikan ini  hidup penuh dengan derita" itulah kata-kata yang pernah diucapkan kakak  padaku ketika aku mengeluh tentang pakaian sekolahku yang tak sebagus  murid-murid lainnya. Dan kini aku selalu mensyukuri segala kekurangan  dalam hidupku hingga aku menjadi orang yang serba berkecukupan saat ini.
Kakakku  aku akan selalu menjagamu hingga kau memejamkan mata untuk dunia ini,  hingga kau melepas segala beban hidup ini, dan menuju tempat dimana  seharusnya tempat kau berada disamping sisi-NYA dalam surga keabadian.
Doa  yang telah kupanjatkan untuk kakak hampir membuat tubuh ini tak kuat  menahan kantuk yang mendera, membuat mata ini seperti tertimpa gunung  yang menjadikan kelopak mata ini ingin tertutup dan membuat pikiran ini  lelah karena telah bekerja seharian penuh mengawasi kerja dari  pegawai-pegawai perusahaan yang tak pernah tidur. Tapi hati ini tak bisa  berhenti tuk terus terbangun menemani kakak yang tak henti-hentinya  bercerita tentang masa lalu kami. Seakan malam itu malam terakhirku  bersama kakak. Kakak mulai melanjutkan ceritanya sepanjang malam yang  sangat sunyi sekali bahkan tidak ada suara jangkrik yang terdengar  ataupun suara binatang malam yang memecah sepinya langit yang gelap,  seakan semua yang hadir malam ini menghormati kakak yang terbaring  menceritakan kisah yang tak akan pernah mati.
Kakak  melanjutkan ceritanya saat dimana aku mulai masuk SMPN 1 Karang Batu  diaerah Karawang tengah, aku berhasil menyingkirkan sekitar seribu calon  murid, karena sekolah itu salah satu sekolah yang prestisius se  Kabupaten Karawang. Aku masuk sebagai murid rujukan dari SD ku karena  aku lulus sebagai lulusan terbaik diatas nilai rata-rata. Pada awalnya  aku tidak setuju tuk meneruskan sekolah di SMPN 1 karawang tengah, aku  lebih memilih melanjutkan sekolah di SMPN Batu Ampar karena masalah  biaya yang tak mungkin kakak tanggung. Tapi kakak meyakinan aku tuk  menerima kesempatan dari SMPN 1 Karawang Tengah. Aku tahu kakak tidak  punya cukup biaya tuk menyekolahkanku di sekolah elit tersebut dimana  rata-rata muridnya adalah anak pengusaha dan pejabat yang kaya raya.  Tapi kakak pernah bilang padaku "dik kamu jangan takut kakak tak sanggup  membiayai sekolah kamu, mungkin kakak bukan lah pejabat dan pengusaha  yang bergaji besar dan sanggup membiayai sekolah anaknya berapapun  bayarannya, tetapi kakak berjanji untuk membiayaimu karena kakak percaya  kerja keras kakak dan perjuangan kakak untuk mencari uang adalah  pekerjaan yang nyata dan halal. Biarlah sedikit demi sedikit kakak  mengais uang asal kakak bisa mengumpulkannya lagi dan tercukupi semuanya  dimana berkahnya akan kau rasakan kelak. Maka terimalah kesempatan ini  dimana kakak tak akan pernah mendapatkannya walaupun kakak bisa hidup  seratus tahun lagi".
Aku terdiam menitikkan air mata dan  tanpa pikir panjang aku menerima tawaran tersebut, aku tidak ingin  mengecewakan harapan kakak yang besar terhadapku, aku tidak mungkin  melepas kesempatan langka ini.Iitulah awal aku menggapai cita-cita, awal  aku mengerti tentang arti besar mengenyam pendidikan dari seorang buta  huruf, dari seorang yang hanya bisa memimpikan bisa duduk dibangku  sekolah mendapatkan haknya untuk menggapai sebutir impian. Dan aku  mengingat peristiwa besar ini dengan "kesempatan seratus tahun".
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar