Rabu, 18 April 2012

SEPUCUK SURAT UNTUK LANGIT

Namaku Rama Putra Kartanegara, aku adalah direktur utama perusahaan dagang intercorp internasional yang setiap tahun memperoleh pendapatan sebesar 11 milyar rupiah, dengan sekitar 5000 karyawan diseluruh dunia. tapi semua ini bukanlah kekayaan yang nyata, ini semua adalah semu. semua ini kudapat dengan seluruh keringat yang jatuh dari tubuh yang tak pernah henti-hentinya berusaha dan hati yang tak pernah henti-hentinya berdoa.
semua bisa kudapat karena seorang yang luar biasa, yang selalu mendukungku dari belakang dan setiap saat menuntunku menuju hari masa depan yang samar. Tapi sekarang dia sedang sekarat, bergulat dengan ranjang bertuliskan "Ivan Putra Kartanegara" dan bertarung melawan malaikat maut di antara kehidupan dan kematian. Dialah kakakku yang terbujur kaku dan terdiam bisu ditempat tidur National Cancer Center Hospital di Jepang salah satu rumah sakit terbaik dalam hal penyakit kanker. Benar, kakakku menderita penyakit kanker paru-paru stadium akhir, yang sudah tidak punya kesempatan untuk melihat dunia lebih lama lagi. Dokter memperkirakan hidupnya tak lebih lama dari 1 bulan. Aku tak bisa berbuat apa-apa dengan segala hal yang kupunya ini, kekayaan, kekuasaan dan segala yang aku miliki tak bisa membuat kakak bisa sembuh dan selamat, ataupun membuatnya hidup lebih lama untuk merasakan hasil jerih payah yang selama ini kita gapai bersama. Apa yang saat ini bisa aku lakukan hanyalah tersenyum, karena itu yang kakak minta padaku, padahal hati ini terus menangis tanpa henti. Kakak selalu bilang "dik, tersenyumlah walau hatimu sakit, karena dengan tersenyum segala air mata di hatimu akan menjadi air yang paling sejuk ketika kau berada di surga", itulah yang membuat aku menjadi pribadi yang selalu tersenyum walaupun hidup yang kami jalani berat, itu karena kakak.

Pernah setiap malam kakak bercerita tentang masa lalu ketika kami berdua masih kecil. Aku sering menangis ketika mendengar suara lolongan anjing disaat malam, di desaku lolongan anjing berarti pertanda bahwa ada roh yang bergentayangan sedang mencari tumbal, aku selalu memeluk badan kakak yang kurus kerontang dengan nafasnya yang berat serta genggaman tangannya yang besar memeluk seluruh badanku yang kecil. Ya, tak ada yang dapat kupeluk selain tubuh kakak yang hangat karena ketika aku berumur 1 tahun ayah dan ibu telah menghadap yang kuasa. Ayah dan ibu meninggal karena bencana banjir yang melanda desa batu sari sekitar 25 tahun yang lalu, ketika itu kakak baru berumur 6 tahun, anak yang sudah harus menanggung cobaan yang berat di pundaknya yang kecil.
Kakak selalu bilang bahwa longlongan anjing itu karena induk anjing sedang memanggil anaknya karena hari sudah malam. Lalu dia melanjutkannya "dik kalau sudah malam jangan pergi jauh-jauh nanti dicari sama ibu anjing, memang dibawa sama ibu anjing??". ketika itu aku percaya apa yang dikatakan kakak dan selalu pulang tepat waktu sehabis main bersama temanku. Tapi aku tahu itu hanya cara kakak agar aku tidak terlalu larut pulang kerumahku yang seperti kandang domba dan hampir roboh yang disampingnya terdapat makam ayah dan ibu, serta di belakangnya ada sawah yang digarap kakak dibantu oleh paman bayu.

Malam itu ketika kakak bercerita tentang masa lalu, aku seperti menaiki mesin waktu yang membawaku ke masa dimana semua ini berawal, dimana semua perjuangan orang yang paling kuhormati dan paling luar biasa dalam hidupku dimulai bersama dengan langit malam yang mengusir awan hitam hingga cahaya rembulan dan bintang menerangi wajahnya yang damai.

Malam dimana kakak bercerita tentang masa lalu yang penuh bunga-bunga kenangan kebahagiaan dan tak terhitung duri-duri kesedihan yang pernah terjadi selama perjalanan hidup kami. Malam itu kakak seperti manusia yang mendapatkan semangat baru dalam hidupnya padahal hidupnya sudah tidak lama lagi, mungkin Tuhan memberikan kekuatan bagi kakak untuk mencicipi kebahagiaan di saat akhir yang tak pernah ia dapatkan disepanjang hidupnya. Walaupun kakak tak pernah tahu apa penyakit yang menimpa dirinya. Benar, selama ini aku merahasiakan tentang ini semua, pernah ketika itu kakak menanyakan kepadaku tentang penyakitnya dan aku hanya tersenyum dan menjawab "kakak hanya terserang demam berdarah, jadi kakak harus dirawat disini untuk beberapa waktu", kakak tidak pernah tahu bahwa tempat dimana dia dirawat adalah rumah sakit khusus untuk menangani penyakit kanker, karena kakak tidak bisa membaca bahkan dia tidak pernah mengenyam pendidikan sekalipun. kami semua merahasiakannya karena aku tidak ingin kakak menjadi terpukul tentang keadaannya, aku tidak ingin melihat kakak bersedih lagi, aku tidak ingin melihat kakak menjadi seorang yang kehilangan semangat hidup karena dia tahu kapan dia akan menghembuskan nafas terakhirnya. Aku tidak mau di sisa hidupnya dia meratapi kematian tanpa merasakan kebahagiaan yang telah ada didepan mata, aku ingin dia merasakan secuil kegembiraan yang tak pernah dia dapatkan seumur hidupnya.

Suara kakak yang lembut menyadarkan aku dari pelamunanku yang cukup lama, cerita kakak semakin besemangat ketika meracau tentang  hari pertama aku bersekolah di sekolah dasar negeri Batu Ampar. Aku duduk dibangku kelas satu yang terdiri dari sekitar empat puluh murid. Hari itu kakak mengantarkan aku menggunakan sepeda kumbang sepeninggal ayah dahulu, dengan rantai yang kering menimbulkan suara yang memecah sunyi pagi. Kakak bersemangat sekali mengayuh sepedanya, entah sudah berapa jauh dia mengayuh tanpa memperlambat kecepatannya. Jarak antara rumahku ke sekolah bisa dibilang sangat jauh karena harus melewati dua desa untuk mencapainya, karena di desa kami tidak ada sekolah dan tempat pendidikan lainnya.

Kakak selalu bilang bahwa sekolah itu adalah awal bagi cita-cita yang tak bisa digapai hanya dengan sebuah mimpi tapi dengan kemauan yang keras dan usaha yang gigih. aku tak pernah tahu bahwa kakak menyimpan keinginan untuk bersekolah juga, kutahu itu semua ketika kakak sedang bercakap dengan paman bayu ketika sedang beristirahat selesai menggarap sawah. "van, mengapa kau tidak bersekolah bersama adikmu itu? masa depanmu itu masih panjang, janganlah kau menjadi seperti pamanmu ini yang hanya kuli penggarap sawah" kata paman bayu, lalu kakak menjawab dengan sedikit senyum "paman, kalau aku tidak bekerja menggarap sawah, menjadi kuli panggul dipasar, dan bekerja untuk koh a kiong maka tak ada salah satu dari saya maupun Rama yang bisa merasakan nikmatnya udara sekolah, biarlah rama yang merasakan itu semua daripada diantara kami tak ada yang dapat menghirupnya?" paman bayu menyambung "tapi bagaimana dengan dirimu apakah kau tidak ingin merasakan sekolah juga?", kakak lalu menjawab dengan mengangkat wajahnya memandang langit "cita-cita saya sejak dulu adalah merasakan bangku sekolah, tapi sekarang cita-cita saya adalah menyekolahkan Rama sampai ia masuk universitas biarpun saya harus seperti ini, saya tidak ingin melihat Rama jatuh ke jurang dalam kebodohan dan tak bisa kembali untuk melanjutkan sisa hidupnya. biarlah saya yang menjadi batu pijakan baginya hingga ia bisa melompat ketempat yang tak pernah bisa saya gapai".

Saat mendengar itu semua mulutku terkunci tak bisa berucap, tanganku gemetar, dan tubuhku terbujur kaku tak bisa bergerak. aku hanya bisa berkata didalam hati "aku akan membuat kakak bangga dan membuat kakak selalu tersenyum sepanjang hidupnya".
kenangan itu yang menjadikan diriku seorang yang tak pernah putus asa untuk mendapatkan yang terbaik bagi kakakku, hingga aku menjadi seperti ini.

Ini semua karenamu sang mentari yang memberi sinar kehidupan, sang bintang yang memberi cahaya penuh kedamaian sepanjang masa. malam semakin larut tapi kakak belum juga menutup matanya dia semakin bersemangat lagi ketika bercerita tentang masa lalu kami yang setiap harinya dia ingat sebagai kehidupan yang penuh derita, penuh kesedihan, dan penuh perjuangan. Tapi semua itu tak menyurutkan semangatnya untuk berbuat yang terbaik yang bisa beliau berikan, "hiduplah dengan rasa syukur, karena tanpa rasa syukur takkan ada kekurangan yang tak dapat kita terima dan itu hanya menjadikan ini hidup penuh dengan derita" itulah kata-kata yang pernah diucapkan kakak padaku ketika aku mengeluh tentang pakaian sekolahku yang tak sebagus murid-murid lainnya. Dan kini aku selalu mensyukuri segala kekurangan dalam hidupku hingga aku menjadi orang yang serba berkecukupan saat ini.

Kakakku aku akan selalu menjagamu hingga kau memejamkan mata untuk dunia ini, hingga kau melepas segala beban hidup ini, dan menuju tempat dimana seharusnya tempat kau berada disamping sisi-NYA dalam surga keabadian.

Doa yang telah kupanjatkan untuk kakak hampir membuat tubuh ini tak kuat menahan kantuk yang mendera, membuat mata ini seperti tertimpa gunung yang menjadikan kelopak mata ini ingin tertutup dan membuat pikiran ini lelah karena telah bekerja seharian penuh mengawasi kerja dari pegawai-pegawai perusahaan yang tak pernah tidur. Tapi hati ini tak bisa berhenti tuk terus terbangun menemani kakak yang tak henti-hentinya bercerita tentang masa lalu kami. Seakan malam itu malam terakhirku bersama kakak. Kakak mulai melanjutkan ceritanya sepanjang malam yang sangat sunyi sekali bahkan tidak ada suara jangkrik yang terdengar ataupun suara binatang malam yang memecah sepinya langit yang gelap, seakan semua yang hadir malam ini menghormati kakak yang terbaring menceritakan kisah yang tak akan pernah mati.

Kakak melanjutkan ceritanya saat dimana aku mulai masuk SMPN 1 Karang Batu diaerah Karawang tengah, aku berhasil menyingkirkan sekitar seribu calon murid, karena sekolah itu salah satu sekolah yang prestisius se Kabupaten Karawang. Aku masuk sebagai murid rujukan dari SD ku karena aku lulus sebagai lulusan terbaik diatas nilai rata-rata. Pada awalnya aku tidak setuju tuk meneruskan sekolah di SMPN 1 karawang tengah, aku lebih memilih melanjutkan sekolah di SMPN Batu Ampar karena masalah biaya yang tak mungkin kakak tanggung. Tapi kakak meyakinan aku tuk menerima kesempatan dari SMPN 1 Karawang Tengah. Aku tahu kakak tidak punya cukup biaya tuk menyekolahkanku di sekolah elit tersebut dimana rata-rata muridnya adalah anak pengusaha dan pejabat yang kaya raya. Tapi kakak pernah bilang padaku "dik kamu jangan takut kakak tak sanggup membiayai sekolah kamu, mungkin kakak bukan lah pejabat dan pengusaha yang bergaji besar dan sanggup membiayai sekolah anaknya berapapun bayarannya, tetapi kakak berjanji untuk membiayaimu karena kakak percaya kerja keras kakak dan perjuangan kakak untuk mencari uang adalah pekerjaan yang nyata dan halal. Biarlah sedikit demi sedikit kakak mengais uang asal kakak bisa mengumpulkannya lagi dan tercukupi semuanya dimana berkahnya akan kau rasakan kelak. Maka terimalah kesempatan ini dimana kakak tak akan pernah mendapatkannya walaupun kakak bisa hidup seratus tahun lagi".

Aku terdiam menitikkan air mata dan tanpa pikir panjang aku menerima tawaran tersebut, aku tidak ingin mengecewakan harapan kakak yang besar terhadapku, aku tidak mungkin melepas kesempatan langka ini.Iitulah awal aku menggapai cita-cita, awal aku mengerti tentang arti besar mengenyam pendidikan dari seorang buta huruf, dari seorang yang hanya bisa memimpikan bisa duduk dibangku sekolah mendapatkan haknya untuk menggapai sebutir impian. Dan aku mengingat peristiwa besar ini dengan "kesempatan seratus tahun".

Tidak ada komentar:

Posting Komentar